Sabtu, 28 Maret 2009

tradisi nulis

TRADISI TULISAN SEBAGAI TRADISI QUR’ANI

Yang telah mengajarkan manusia dengan Qalam (Qs, Al-A’laq).

Oleh Cian Ibnu Sina Sj*)

Kalau kita mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang adalah masyarakat menulis atau Writing Society nampaknya belum tepat, terlebih dalam pengertian sosiologis. Untuk sekadar menyebutkan boleh-boleh saja, bahkan perlu untuk membangun kepercayaan diri seorang penulis-penulis muda atau untuk merangsang masayarakat agar menjadi semangat menulis.

Soal menulis ini, kita memang harus banyak belajar pada bangsa atau negara maju, negara Eropa misalnya. Menulis bagi masyarakat Eropa adalah hal yang benar-benar sangat diperhatikan. Seorang anak kecil saja telah dibiasakan oleh orang tuanya untuk mengisi catatan hariannya dalam buku pribadinya. Ini tentu saja hal penting, karena menulis merupakan soal kebiasaan bukan hanya kepintaran atau kecerdasan. Semakin sering menuliskan sesuatu, maka semakin mahirlah ia dalam menulis.

Menulis bagi masyarakat maju seperti Eropa bukanlah persoalan yang berat apalagi elitis. Menulis justru masalah kebiasaan yang semua orang bisa melakukannya, tanpa harus belajar formal sebagaimana study matematika. Keterampilan menulis ini sengaja dibiasakan sejak dini. Karena menulis adalah awal dari perjalanan sejarah manusia, bukankah sejarah diawali dan berawal hanya dari tulisan ?.

Benar bahwa menulis membuat masyarakat cerdas mengungkapkan ide dan gagasannya. Kalau tidak dalam bahasa lisan, bagi orang yang telah terbiasa menulis, tentulah lewat bahasa tulisan dalam membahasakan ide-idenya. Apapun ide yang ditulis, bagaimanapun cara menuliskannya, serta bagaimanapun keadaanya saat menulis, maka semua itu tidak akan pernah mati tetapi menjadi arsiv yang pada akhirnya dapat menjadi sebuah naskah abadi.

Demikian tulisan menjadi penting adanya dalam masyarakat karena tiga hal. Antara lain, pertama menulis menurut banyak ahli psikologi banyak membantu sebagai terapi bagi penulis sendiri. Selain tentunya dapat memberikan kesan yang mendalam karena gambaran diri penulisnya dapat terlihat meskipun tidak terwakili seluruhnya. Serta mempunyai nilai materi yang cukup lumayan, daya jual di pasa raya intelektual.

Kedua, menulis sebagai kreativitas manusia sejarah, karena sejarah tidak diawali dengan cerita omongan tapi dengan cerita dalam bentuk tulisan. Ketiga, menulis sebagai eksistensi manusia dalam banyak hal. Misalnya saja dalam hal pemikirannya, dengan menulis pemikiran seseorang tidak lah sekejap ketika diucapkan ketika itu juga hilang. Tapi melalui tulisan buah pikiran seseorang dapat diketahui oleh banyak generasi. Dan pada titik inilah sebenarnya menulis dapat menjadikan seseorang eksis sebagai manusia sejarah.

Demikian lah sebuah bangunan lengkap dalam sebuah peradaban masyarakat manusia adalah hanya karena adanya kelengkapan budaya tulis-menulis. Ketika budaya menulis yang semula merupakan Opus Spirituale (kerja halus) kemudian bergeser menjadi Opus Manuale (kerja kasar), maka lengkap lah peradaban tersebut.

Kenapa demikain, sebab titik akhir peradaban tertinggi manusia adalah tulisan. Karena dengan bergantinya dari Oral Culture (budaya lisan) menjadi Creat Culture (budaya tulisan) telah menjadikan sebuah masyarkat yang tadinya “statis” menjadi “dinamis”. Tradisi lisan hanya bertahan saat pelaku wicara ada atau masih hidup, setelah meninggal dunia maka hilang lah kekuatannya. Ini kemudian terkenal dengan Lost Generation (keterputusan generasi). Lain halnya dengan peradaban menulis. Melalui tulisan generasi tidak bisa hilang, mati satu tumbuh seribu.

Ilustrasi sederhana: Bagaimana kita akan dapat mengetahui sejarah manusia agung Rasulullah Muhammad saw misalnya, kalau tidak satupun orang menuliskannya. Bagaimanakah seandaianya kalau hadist-hadits Nabi Muhammad saw tidak sempat ditulis ? Bagaimana kah nasib umat Islam jika saja kitab suci Al-Qur’an tidak ditulis, tidak dibukukan. Tanpa Al-Qur’an dibukukan apakah perkembangan Islam akan begitu cepat ? Tentu lah tidak.

Bukan saja agama Islam, semua agama pun akan terlambat bahkan bisa mati diperjalanan jika kitab sucinya tidak ditulis. Atau jika terus menggunakan Oral Tradisition (budaya lisan) dan tidak segera menggantinya dengan Creat Tradition (budaya tulis). Karenanya Al-Qur’an sendiri mengisyaraktkan kalau tulisan adalah titik akhir dari peradaban umat manusia. “Sesungguhnya hal ini benar-benar telah ada dalam lembaran-lembaran awal, lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa” (Qs.Al-A’la).

Isyarat dalam ayat Al-Qur’an di atas kurang lebih menunjukan bahwa awal tradisi tulisan sudah ada sejak Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as. Dalam sejarah kuno tercatat bahwa Nabi Ibrahim as sebagai orang pertama yang memulai menulis. Sehingga karena menulis ini diberlakukan, maka perjalanan pengetahuan umat manusia begitu terpelihara secara sempurna dan terus berkembang hingga saat ini.

Abraham (dalam bahasa Eropa), mengawali tulisan sekira kurang lebih 4000 sebelum masehi. Dapatlah kita bayangkan kalau ternyata tradisi menulis ini telah begitu tua. Pengertian ini menunjukan kalau tradisi tulisan benar-benar telah menjadi “ruh” agama. Hanya lewat tulisan sebuah cerita pengetahun dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi dapat sambung menyambung hingga sampai kepada kita. Dengan arti ini, sungguh sayang jika kita meninggalkan tradisi tulisan ini. Atau malah kita kembali kepada tradisi lisan.

***

Benar kalau kawan akrab dalam kebudayaan lisan adalah pembicaraan. Sedangkan sahabat dekat dalam kebudayaan tulisan adalah pemikiran. Dalam tradisi lisan, tulisan begitu lemah, sedangkan kata-kata begitu kuat dan penting. Dalam kebudayaan lisan ini boleh dibilang bahwa kata-kata melebihi tulisan, kata-kata mengalahkan aksara, orasi mengalahkan deskripsi. Dalam budaya tulis justru yang terjadi sebaliknya.

Dalam budaya tulis, kekuatan bicara tidak melebihi tulisan, bahkan terkadang tulisan melebihi kata-kata. Aksara melebihi kalimat dan kata-kata. Atau deskripsi di atas orasi. Begitulah pada masyarakat yang berbudaya lisan, yang pintar adalah yang banyak bicara, yang pintar adalah seseorang yang panjang kalimat dan kata-kata dalam pembicaraannya. Sebaliknya, dalam budaya tulisan seseorang dianggap pintar karena dapat menuangkan ide atau pemikirannya dalam bentuk tulisan. Yang pandai berarti yang banyak melahirkan tulisan.

Begitulah seterusnya. Karya dalam budaya lisan adalah omongan, sedangkan karya dalam budaya tulisan adalah catatan. Dalam budaya lisan tradisi hafalan dan talaran sangat berkembang. Siapa yang banyak talaran dan hapalannya dialah seorang intelektual. Sementara dalam budaya tulisan, siapa yang banyak catatannya dialah seorang yang intelektual. Namun demikian, pada budaya lisan bukan berarti sama sekali tulisan tidak ada. Tulisan ada hanya ia bekerja dalam modus kerja halus (Opus Spirituale) seseorang. Menulis begitu dinggap elitis sehingga menulis hanya boleh bagi orang-orang tertentu. Ini sebenarnya yang dimaksud dengan omongan mengalahkan tulisan. Percakapan mengalahkan catatan. Atau paling tidak pembicaraan lebih mulya dibandingkan catatan.

Berbeda dari budaya lisan. Dalam budaya tulis, menulis menjadi bagian dari kerja kasar (Opus Manuale), bukan kerja halus lagi. Menulis bisa dan boleh dilakukan oleh siapa saja, di mana dan kapan saja. Di sini yang berkembang bukan lagi hapalan dan talaran, akan tetapi pikiran. Karenanya kalau dalam budaya lisan, sebuah kekuatan omongan dilihat dari siapa yang berkata, selain tentu saja ucapan itu sendiri. Maka dalam budaya tulisan, kekuatan sebuah catatan adalah dilihat dari catatan itu sendiri, selain tentu saja penulis itu sendiri.

Dalam tradisi lisan yang berlaku siapa yang berbicara, bukan omongan itu sendiri. Karena ucapan tidak berpisah dari orang yang mengatakannya. Sedangkan dalam tradisi tulisan yang berlaku justru apa yang di tulis, bukan penulis itu sendiri. Karena tulisan dapat berpisah dari orang yang menuliskannya. Pada yang pertama, ke-siapa-an, lebih sering, yang menentukan omongan. Sedangkan pada yang kedua, ke-apa-an, lebih sering, yang menentukan tulisan.

Rolland Barthes (ahli semiotik asal Eropa) pernah mengatakan kalau sesungguhnya pengarang itu telah mati atau penulis itu telah berpisah dari tulisannya. Sebuah tulisan menjadi terpisah dari siapa yang menuliskannnya. Di sini tulisan menjadi milik publik, umum. Artinya pembaca berhak menafsirkan apa saja. Akan tetapi, sebuah omongan tidak demikian. Ia tidak bisa menjadi bebas bagi siapa saja yang mendengarnya.

Tulisan atau catatan bisa menjadi sebuah realitas karena ia dapat berupa sebuah fakta. Tapi omongan tetap saja omongan dan tidak bisa menjadi realitas karena ia tidak bisa menjadi sebuah fakta. Demikianlah sebagaimana disebutkan diawal kalau sejarah benar-benar berawal dari tradisi menulis, bukan lahir dari tradisi lisan. Sejarah tidak berasal dari ucapan tapi sejarah berawal dari catatan. Alasannya sangatlah sederhana, kalau omongan hanya bisa dikenang dan diingat maka tulisan lebih dari itu. Catatan dapat dikenang, diingat, dilihat, dan yang paling berarti adalah dibaca.

Demikian lah Al-Qur’an telah sejak dahulu mengisyaratkan kalau sebuah tulisan memang harus benar-benar diperhatikan. “Nun, demi qalam (pena) dan apa yang di tuliskannya” (Qs.Al-Qalam). Karena tulisan telah mampu mengantarkan dan mengangkat masyarakat manusia dari kebudayaan “rendah” menuju kebudayaan “tinggi”. Catatan sangat berbeda dengan perkataan. Catatan bisa membuat ide menjadi panjang dan lebar, karena bisa dibaca dari satu generasi ke generasi.

Sulit dibayangkan jika Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak ditulis. Sebuah tulisan adalah khazanah bagi kehidupan. Sementara omongan, ketika diucapkan seketika itu juga hilang. Kreativitas dalam menulis segera menjadi sejarah, bisa dibaca oleh banyak orang tanpa harus bertemu dengan penulisnya. Tapi omongan hanya dapat didengar bersama pengucapnya. Omongan hanya dapat dipelihara oleh orang yang memiliki daya ingat yang panjang. Tetapi tulisan bisa saja dipelihara oleh semua yang mempunyai kapasitas daya ingat normal, bahkan oleh lemah daya ingatnya yang normal sekali pun.

Demikian lah ternyata menulis bukan hanya memiliki kelebihan dari sekadar ucapan. Catatan tidak hanya memilki kelebihan dari sekadar celotehan. Arti terpenting dari catatan dan tulisan adalah bahwa ia bisa didokumenkan, diulang-ulang, dan dipelihara sebaik mungkin. Benar kalau teknologi sekarang tengah mencapai tahap kesempurnaan yang nyata. Rekaman bisa dijadikan dokumen sebagaimana halnya tulisan dalam buku. Video dapat memelihara visualisasi sebuah kenyataan seperti catatan dalam naskah kertas. Namun demikian, seperti apa yang dikatakan kongfuchea (terkenal dengan nama Konghucu), seorang filsuf Timur dari China. Ia berkata bahwa “apa yang aku dengar aku lupa, apa yang aku lihat aku ingat, apa yang aku kerjakan aku paham, apa yang aku ajarkan aku kuasai”. Sementara yang dikerjakan dan diajarkannya sendiri adalah menulis.

Boleh jadi benar kalau kekuatan teknologi rekaman cukup kuat usianya tapi apa yang dikatakan Konfuchea bisa jadi lebih benar kalau tulisan bisa lebih kreatif. Video, Vcd, dan Dvd sekarang tengah menjamur tapi apakah kebiasaan menulis harus tergantikan ?. Dokumentasi dalam vita kaset lumayan rumit, karena ia begitu harus ditampilkan dalam cara yang tidak sederhana seperti tulisan ketika dibaca.

Berbeda dengan tulisan ketika jadi dokumentasi, kecanggihan elektronika dalam hal pen-data-an dokumen hanyalah sebatas kecepatan akses, bukan berarti tahan lama sebagaimana pen-data-an oleh kertas dalam bentuk buku. Seandainya buku-buku harus tergantikan oleh kecanggihan elektronika, maka manusia dapat dipastikan menjadi robot. Membaca huruf dalam tampilan komputer tidak akan tahan lama, sebab radiasi cahaya yang dipantulkan komputer cukup berbahaya bagi keselamatan mata. Berbeda dari barang teknologi, tampilan buku terhadap mata tidak begitu membahayakan. Ia bisa dibaca berulang-ulang dengan waktu yang lama.

Demikian pun halnya menulis dalam mesin elektronik, tangan telah tergantikan olah mesin tik atau komputer. Nyaris kegunaan tangan tergantikan oleh mesin. Sekarang hampir jarang menulis dengan tangan dalam pengertian langsung, kalau bukan catatan harian pribadi. Pena tergantikan oleh keybord. Ini kemajuan yang luar biasa yang sedang dikembangkan masyarakat modern 20 terakhir kebelakang. Bagaimana jadinya dunia tanpa kertas ? Kalau dunia tanpa komputer mungkin tidak terlalu mengapa tapi kalau dunia tanpa kertas yang berarti juga dunia tanpa tulisan ? Ini dapat berbahaya bagi perkembangan peradaban manusia. Tentu saja tergantung kepada mental masyarakatnya. Kalau masyarakat telah memiliki mental teknologi yang serius, maka bisa saja menggantikan yang Opus Spirituale menjadi Opus Manuale meskipun dibantu oleh kecanggihan teknologi.

Dunia penuh dengan tulisan membanggakan. Tapi dunia penuh elektronika belum tentu membanggakan. Ini sebenarnya persoalan teknis menulis. Antara bantuan teknologi canggih dengan yang manual. Dan sekarang nyaris tergantikan dengan kehadiran Cyber Space atau dunia maya. Internet dan komputer dengan segala kecanggihannya bisa mempasilitasi keinginan manusia.

Diskusi cukup tanpa tatap muka, via e-mail dan Mailing-List. Bercakap-cakap telah tergantikan dengan chatting. Kuliah bisa via internet dengan menggunakan fasilitas Voice Conference. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan adanya Universitas Cyber, kenapa tidak kalau masyarakatnya sudah sarat mental dan materialnya. Semua ini tentulah hampa dan maya kalau terus-menerus berlabuh di dunia internet. Semuanya bisa hampa kalau terus berada dalam ruang kecanggihan mesin. Di sini harus dipahami kalau teknologi sebenarnya hanya perpanjangan tangan dari panca indera kita.

Kembali kepada tradisi tulisan sebagai tradisi Qur’ani. Disebut sebagai tradisi Qur’ani karena Qur’an sendiri telah memberi penegasan kalau menulis itu sangat penting. Al-Qur’an memang tidak membicarakan hal-hal yang teknis sifatnya. Sepertinya persoalan teknik mutlak bagi kebebasan kreativitas manusia. Al-Qur’an sebenarnya hanya memberi isyarat peradaban dan pendasaran prinsipil kalau menulis itu sebenarnya adalah titik akhir dari peradaban manusia yang lengkap.

Terlepas mau memakai bantuan teknologi atau pun tidak. Yang jelas kecanggihan teknologi elektronik tidak akan sanggup menggantikan budya menulis yang sejak dahulu telah ada. Belum dapat kita bayangkan seandainya budaya menulis ini berhenti karena teknologi. Bagaimana kalau teknologi mampu mengilangkannya, apalagi. Menulis via kertas yang seterusnya menjadi buku sebagai sebuah karya tetap ini merupakan khazanah teragung yang pernah manusia ciptakan. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana seandainya dunia tanpa kertas, catatan, dan buku ?. Bukankah berarti kematian bagi sebuah peradaban ?. Selamat Menulis ! Wallahu A’lam Bissawwab ][

*) Penulis alumni LPIK UIN SGD Bandung, kini staf ahli pada Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hang Tuah Tanjungpinang

provinsi Kepulauan Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar